-layu cinta-
Lelah. Jiwaku rasa lelah, dengan semua ini. Jiwaku rasa lemas, dengan
segalanya, dengan perasaan yang ada di hatiku, ini. Umpama badanku ini,
tenggelam ke dalam lautan, tanpa sesiapa yang ambil tanganku. Aku bersendirian
di lautan biru, yang dalamnya tanpa limit, tanpa apa-apa, sekadar kekosongan.
Rasa jiwaku ini, juga, umpama tanganku memegang duri si bunga ros, darah merah pekat
keluar dari jariku, tapi ku sekadar memandang, dan merasai kesakitan, tanpa
lagi berusaha untuk melepaskan ia, kerna bagiku, usaha atau tidak, darah tetap
keluar, sakit tetap sakit; jiwaku tetap merasa seksa, dan merana. Jiwaku ini,
dah berhenti berharap, agar ia bisa berenang di lautan biru. Jiwaku ini, dah
berhenti untuk berusaha, agar ‘darah pekat di jariku bisa hilang’. Jiwaku dah
pudar, hanya kelemasan ilusi sahaja, peneman ia. Semua ini benar-benar
melemaskan aku, memalaskan zahirku untuk berusaha, untuk berlumba, untuk
menjadi hebat.
Ku melihat hatiku, guna hatiku. Ku soal ia, “wahai hati, kenapa aku perlu
merasai cinta, kenapa aku perlu rasa sakitnya cinta kerna kebodohan kau, yang
hanya; seperti membunuh jiwaku, ini? Kenapa aku perlu rasa, apa itu cinta,
andai hanya menyeksakan jiwaku, dan menambahkan lagi peneman mental illness ku.
Wahai hati, tidakkah kau penat merasai lemasnya jiwa, ini? Tidakkah kau kasihan
akan diriku ini, yang telah lama lemas, hasil harapan mu itu?”
Semua ini benar-benar menyakitkan. Jiwaku merana memikirkan soal hati. Akalku
nak lari dari hati, tapi dia sendiri merana, kerna psikologi bodoh. Hanya kerna
cinta, ku bingung keliru dengan semuanya, hanya kerna hati, ku terpaksa
menanggung lemasnya batinku, hidup di dunia empirikal.
...
Aku cinta dirimu, wahai cinta. Aku rindu dirimu, wahai sayang. Aku teringin
memelukmu, wahai cinta. Andai bisa ku tunjukkan hatiku ini, akan dirimu tahu,
betapa ia mencintaimu, betapa ia menyayangi
dirimu. Andai jiwaku ini bisa ku materialkan, akan dirimu tahu, berapa kali ia sentiasa
merasa lemas, kerna lautan cinta yang hatiku coba memasukinya, hanya kerna
dirimu sayang, hanya kerna senyumanmu , cinta; yang hanya ku bisa pandang ia,
di lautan virtual.
Mahu kamu tahu...
Cintaku ini real, walau kau hanya ku pandang di dunia virtual. Sayangku ini
real, walau kau tak kenal diriku, walau kau tak akan pernah menjumpaiku,
selama-lamanya. Wahai cinta, dalam lubuk hatiku ini, ada harapan, terletaknya
sebuah harapan, tersembunyinya sebuah harapan. Yang mana, harapan yang dah lama
ku coba buang ia, tapi ia tetap ada di situ. Mungkin kerna, hatiku ini percaya,
sangat percaya, kamu itu bakal ku temui, dan menjadi milikku; cintamu bakal menjadi
milikku, suatu hari nanti.
Sebenarnya harapan itu, teringin ku
buang ia, jauh-jauh kerna sepertinya jiwaku tahu, itu harapan palsu sahaja. Tapi
hatiku tetap juga berharap, walau ia sendiri tahu, bahawa ia itu mustahil untuk
berlaku. Mana bisa, kamu yang jauh di sana, lain bahasa, lain negara, bisa pula
suatu hari nanti, jumpa diriku ini, dan terbuka hatimu, untuk mencintaiku. Kah
kah kah, harapan ilusi untuk hatiku lari dari realiti. Harapan ilusi hati, yang
hanya melemaskan lagi jiwaku, mematikan lagi jiwaku, yang akhirnya, hati
sendiri merana, dia sendiri merana, dia sendiri yang berhenti berharap,
akhirnya. Bodoh punya hati.
Balas hati, kuasa Pencipta itu tidak terbatas. Ya, kamu benar wahai hati,
tapi kamu harus tahu, kau itu yang terbatas, bukan kuasa Pencipta. Jadi, jangan
lagi jual nama Pencipta, untuk menunaikan harapanmu itu, bila mana, kau sampah
di depan Pencipta, di depan manusia, di depan dunia, di depan segala-galanya.
Dan, tolong, buang rasa cinta itu, dan jangan lagi jatuh cinta, kerna jiwa ini,
dah tak lagi mampu menanggung lemas di lautan cinta, hasil kebodohanmu, wahai
hati. Lalilah kamu wahai hati! Lalilah kamu dari merasai cinta! Dan, berhentilah
berharap, menggunakan nama Pencipta... kerna buat pengetahuanmu wahai hati, sampah
sepertiku ini, tak layak berharap simpati Pencipta. Si pemalas seperti ku ini,
tak layak nak berharap simpati Sang Pencipta. Jiwa rosak seperti ku ini, tidak
layak meminta agar harapan cinta itu terlaksana... wahai hati, jangan berharap
cinta mu bakal diterima oleh si dia, bila zahirku ini sampah... Harap saja,
agar cinta di dalammu itu, bisa hilang, dan selama-lamanya, kau tidak akan lagi
merasai akan cinta, merasai apa itu
cinta romantika, agar kita bisa gembira...
Mahu kamu tahu...
ku tahu, tiada sesiapa yang nak tahu, termasuk kamu...
...
Mahuku jumpa dirimu, tapi setelah ku cermin diriku, ku sedar diriku ini,
hanya sekadar sampah, di dalam dunia ini. Aku hanya bisa, pandang wajahmu, di
dunia kecilku sahaja. Ku hanya bisa, memandang senyuman manismu itu, hanya di
ruang kecilku sahaja. Ku pernah berharap, agar bisa kita bertemu, suatu hari
nanti. Tapi, setelah ku fikir segalanya, fikir akan diriku, cermin akan diriku,
ku sedar, ku bertemu dirimu atau tidak, engkau tetap tak akan pandang diriku
ini, hatimu itu, tetap tak ada ruang untuk sampah sepertiku. Aku tahu itu,
sebab itu, aku belajar untuk latih hatiku ini, agar ia tidak lagi berharap,
akan itu. Tapi apa dayaku, hati bodohku ini, tetap berharap cintamu, walau
akhirnya jiwaku lemas, di lautan cinta, ilusi ku sendiri. Hati ku itu tahu,
hatiku itu sedar, kerna dialah jiwaku ini merasa lemas, merana, seksa. Tapi
apakan daya, akalku ini tidak bisa nasihatkan hatiku, untuk berhenti berharap
akan cinta, kerna lemah akalku itu, hasil kerna mental illness ku, yang juga,
sentiasa melemaskan jiwaku, di lautan psikologi. Semua itu, benar-benar
melemaskan jiwaku, sanubariku.
Aku tak nak lagi merasai cinta, kerna ia benar-benar menyeksakan jiwaku
ini... aku tak nak lagi berharap, agar cintaku bisa kembang mekar di hati
awak... aku hanya berharap agar cintaku kepada mu ini bisa hilang, dan hatiku
ini, selama-lamanya tak akan lagi jatuh cinta, tak akan lagi rasai cinta
romantika indah...
Aku tak nak lagi merasai cinta... kerna ia menyeksakan jiwaku... melemaskan
batinku...
...
Tapi...
Tapi...
Tapi...
Hatiku ini tetap mencintaimu... dan masih berharap agar harapan itu... dimaterialkan...
Katanya
“aku nak cintamu, walau zahirku sampah, zahirku pemalas, jiwaku rosak...aku tetap nak cintamu... walau kau ada di luar sana, walau bahasa kita lain...tapi, aku tetap tak akan berusaha untuk mencarimu... untuk membuatmu menyedari diriku ini...aku tetap tak akan berusaha agar kamu mencintaiku...kerna... bagiku ia dah cukup...mencintai mu di realitiku, di mana kamu membalas cintaku di ilusi ku... itu dah cukup untuk manusia loser seperti ku...aku bersyukur kerna dirimu wujud... aku bersyukur kerna Pencipta menciptakan dirimu... aku bersyukur kerna Allah memperkenalkan dirimu kepada ku walau sekadar di dunia virtual...aku bersyukur kerna diriku ini mencintai dirimu... dan saya bersyukur kerna awak mencintai saya, walaupun hanya dalam ilusi ku sahaja...aku bersyukur kerna awak bisa ku kenal, walau akhirnya jiwa ku merana dan lemas...tapi, akan ku usaha agar ku bisa bersyukur juga, walau jiwaku ini merana...cukup lah kamu cinta aku di fantasi ku sahaja... aku terima itu ”
Ulasan
Catat Ulasan